Ditulis oleh Dhiana Awaliyah Prana Dipa
Pengajar ALIF IQRA Regional Bekasi

Assalamu’alaikum Ayah Bunda dan Sahabat Alif,

Ada yang masih ingat kisah dua nabi yang membangun Ka’bah ?

Iya, betul Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS.

Nah, kali ini ALIF IQRA akan mengulas mengenai kisah ketaatan Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS yang masyhur diceritakan dalam sejarah peristiwa Idul Adha. Perintah penyembelihan putranya Nabi Ismail AS hadir sebagai ujian ketaataan Nabi Ibrahim AS kepada Allah SWT.

Nabi Ibrahim AS mendapatkan mimpi pertama tentang perintah penyembelihan Nabi Ismail AS pada malam tanggal 8 Dzulhijah. Keraguan akan kebenaran mimpi tersebut menyelimuti benak Nabi Ibrahim AS.

Sahabat Alif tahukah dari mana mimpi itu berasal ? iya betul dari Allah SWT.

Malam tanggal 9 Dzulhijah, Nabi Ibrahim AS kembali mengalami mimpi yang sama. Mimpi yang berisikan perintah untuk menyembelih Nabi Ismail AS. Mimpi ini meyakinkan Nabi Ibrahim AS bahwa hal tersebut datangnya dari Allah, yang berarti apa yang disampaikan dalam mimpi tersebut merupakan perintah yang harus Nabi Ibrahim AS laksanakan.

Setelah semakin yakin dengan kebenaran mimpinya, Nabi Ibrahim AS tidak serta merta langsung melaksanakan perintah tersebut. Namun memilih unutk mengkomunikasikan apa yang dilihatnya dalam mimpi tersebut kepada putranya Nabi Ismail AS.

Mengapa ? Mengapa Nabi Ibrahim AS yang bahkan sudah yakin dengan kebenaran perintah Tuhannya, tidak lantas menggunakan otoritas “keayahannya” untuk melaksanakan apa yang dilihat dalam mimpinya ? Mengapa Nabi Ibrahim AS masih meminta pendapat Nabi Ismail AS dalam pelaksanaan perintah penyembelihan tersebut ?

Nabi Ibrahim AS yang menyadari betul bahwa saat itu Nabi Ismail AS sudah cukup dewasa untuk diajak berdiskusi. Nabi Ibrahim memintanya berfikir dan berpendapat dalam pelaksanaan perintah tersebut terlebih pelaksanaan perintah tersebut berkaitan langsung dengan diri Nabi Ismail AS.

Dalam surat   As Saffat ayat 102 dijelaskan bahwa Nabi Ibrahim AS berkata : “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu  )      ترى ماذا فانظر اذبحك انّي المنام في ارى انّي يابني”.

Dengan penuh kesalehan Nabi Ismail AS menjawab “Wahai ayahku, lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, in syaa Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar )الصابرين من هللا شاء ان ستجدني ماتؤمر افعل ياابت (”.

Dari percakapan tersebut, dapat dilihat cara Nabi Ibrahim AS menyampaikan perintah Allah SWT kepada Nabi Ismail AS. Nabi Ibrahim AS menyampaikannya dengan terbuka. Tidak sewenang-wenang dan memaksakan kehendaknya. Nabi Ibrahim AS memahami bahwa yang perlu ia lakukan sebagai seorang ayah adalah menyampaikan dan memahamkan perintah Allah SWT kepada putranya Nabi Ismail AS. Terkait bagaimana respon Nabi Ismail AS, melaksanakan atau meninggalkan, maka itu merupakan keputusan sang anak dengan Allah SWT.

Percakapan antara Nabi Ibrahim AS dan Nabi Ismail AS sekaligus menggambarkan pola hubungan ayah anak yang bukan saja harmonis, tapi juga komunikatif dan demokratis. Keharmonisan tersebut digambarkan dari cara Nabi Ibrahim AS memanggil Nabi Ismail AS dengan penuh kelembutan dan kasih sayang “Ya Bunayya… (Wahai Anakku..)”. Kata bunayya adalah bentuk tasghir dari kata ibn yang digunakan untuk menggambarkan kasih sayang yang diiringi dengan sikap lemah lembut. Panggilan bunayya juga dicontohkan oleh Nabi Nuh AS yang mengajak Kan’an (putra Nabi Nuh AS) untuk beriman (Q.S Hud : 42).

Panggilan mesra tersebut juga ditujukan Nabi Ya’qub AS kepada Nabi Yusuf AS dalam menyikapi mimpi putranya (Nabi Yusuf AS) (Q.S Yusuf : 5). Begitu pula panggilan Luqman kepada anaknya ketika memberikan pelajaran tentang ketauhidan dan keesaan Allah SWT (Q.S Luqman : 13).

Sedangkan hubungan yang komunikatif dan demokratis, digambarkan dari cara Nabi Ibrahim AS mengajak Nabi Ismail AS berdiskusi dan bermusyawarah dengan meminta pendapat Nabi Ismail AS sambil mengatakan “Fanzur Maza Taraaa”.

Dalam hal ini, Nabi Ibrahim AS sebagai seorang ayah tidak hanya memandang Nabi Ismail AS sebagai anak, tetapi juga memandang Nabi Ismail AS sebagai manusia yang utuh.

Manusia yang memiliki hak atas dirinya, hak untuk berpendapat dan hak untuk memilih. Nabi Ibrahim AS menghindari otorisasi pendidikan pada materi yang menyangkut kesiapan emosional dan kejiwaan anak. Sebaliknya Nabi Ibrahim AS memberikan penawaran kepada Nabi Ismail AS terkait pelaksanaan perintah tersebut. Karena perintah penyembelihan tersebut berkaitan erat dengan hak hidup pribadi Nabi Ismail AS.

Pola asuh demokratis menurut Diana Baumrind adalah gabungan dari pola asuh otoriter dan permisif. Pola pengasuhan ini mendorong anak-anak untuk mandiri, namun orangtua tetap menempatkan batas-batas dan kendali atas tindakan mereka. Pola asuh ini akan membuat anak terbiasa dengan diskusi, faham konsekuensi, dan memecahkan masalah sendiri. Anak akan berani mengambil keputusan karena memahami konsekuensi, yang secara tidak langsung akan menjadikan anak memahami bentuk-bentuk dari hak-hak dan kewajiban-kewajibannya.

Kebijaksanaan Nabi Ibrahim AS dalam menyampaikan perintah Allah SWT., pada akhirnya membuat Nabi Ismail AS tunduk dan patuh terhadap perintah Allah SWT. Alih-alih mengedepankan kepentingan pribadinya untuk menyelematkan diri dari maut. Kebebasan memilih yang ditawarkan Nabi Ibrahim AS justru menjadikan Nabi Ismail AS dengan rasa bangga dan penuh hormat mempersilahkan ayahnya untuk melaksanakan perintah tersebut.

Disimpulkan dari kisah diatas bahwa keduanya bersepakat untuk sama-sama berkurban. Nabi Ibrahim AS sebagai seorang ayah merelakan anak tercintanya, dan Nabi Ismail AS sebagai seorang anak merelakan hidupnya. Sikap patuh Nabi Ismail AS sekaligus difahami sebagai tolak ukur keberhasilan pengasuhan dan pendidikan Nabi Ibrahim AS sebagai seorang ayah.

Dari kisah Nabi Ibrahim AS, ada keteladanan seorang ayah dalam mengasah dan mengasihi anaknya. Dalam pengasuhan, asah berarti stimulasi tumbuh kembang anak. Sedangkan asih berarti kasih sayang dan perhatian. Nabi Ibrahim AS dalam asah dan asihnya terhadap Nabi Ismail AS bersikap lembut, penuh kasih sayang dan demokratis dalam mendidik Nabi Ismail AS. Pola asah dan asih Nabi Ibrahim AS juga tergambar dalam doa yang dilafadzkannya pada peristiwa yang berbeda “ Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan salat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah mereka rezeki dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (Q.S Ibrahim : 37).

Semoga kisah ke”ayahan” Nabi Ibrahim AS dapat menjadi inspirasi para orangtua dalam mendidik buah hatinya……