Indonesia memiliki banyak tokoh Pendidikan, salah satunya adalah Haji Abdul Malik Karim Abdullah atau yang sering disebut Buya Hamka. Dalam bukunya yang berjudul, “Kenang-kenangan Hidup”, Buya Hamka merupakan tokoh sufi yang lahir di Tanah Sirah, tepian Danau Sungai Batang 14 Muharram 1326 H atau tepatnya tanggal 16 Februari 1908.
Pandangan Buya Hamka yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah “Pendidikan merupakan bimbingan keagamaan orang tua terhadap anak dengan cara: membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak. Tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah. Sebab, tujuan pendidikan adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam materi pendidikan harus mencakup tiga hal berikut yakni: ilmu, amal, akhlak dan keadilan”.
Perjalan Hidup Buya Hamka
Sebelum membahas tentang perspektif beliau, lebih dulu kita bahas tentang bagaimana seorang Buya Hamka mengemban pendidikan dari kecil sampai menjadi seorang tokoh filusuf. Tak seperti kebanyakan para tokoh, pendidikan formal Buya ditempuh hanya sampai kelas dua SD Maninjau. Saat Buya berumur 10 tahun, pada 1906, beliau mendalami ilmu agama di Sumatera Thawalib di Padang Panjang, sekolah islam yang didirikan ayahnya sepulang dari Makkah.
Buya Hamka adalah seorang yang selalu haus akan ilmu. Beliau adalah sosok yang ingin terus belajar dan berkembang. Sejak sekolah itu, Buya mulai mendalami agama Islam dan Arab, serta menambah wawasan di surau dan masjid bersama sejumlah ulama terkemuka. Pada 1927, Buya Hamka memulai karirnya sebagai guru agama di Perkebunan Tebing Tinggi, Medan. Buya pun mengabdi di Padang juga sebagai guru agama dan mendirikan Madrasah Mubalighin.
Tak hanya agama, Buya juga menguasai berbagai ilmu yakni filsafat, sastra, sejarah, sosiologi, dan politik. Buya mempelajari semua itu secara otodidak, tanpa pendidikan khusus. Jurnalistik pun menjadi salah satu ketertarikannya. Sejak awal 1920-an, Buya menekuni ilmu jurnalistik dan berkarir sebagai wartawan, penulis, editor, dan penerbit di berbagai surat kabar.
Hamka kemudian diutus cabang Muhammadiyah Padang Panjang yang didirikan Muhammadiyah di Bengkalis, dan langsung menghadiri kongres Muhammadiyah ke-20 di Yogyakarta. Pada tahun 1931 diutus oleh Pengurus Besar Muhammadiyah Yogyakarta ke Makasar untuk menjadi Muballig Muhammadiyah dalam tugas khusus menggerakkan semangat menyambut kongres Muhammadiyah ke-21 di Makasar, kemudian tahun 1933 beliau menghadiri kongres Muhammadiyah di Semarang.
Antara tahun 1930-1942 kegiatannya banyak disibukkan dengan aktivitas tulis menulis, dan banyak karya-karyanya yang beredar di masyarakat luas, dan banyak membuat tulisan dalam bentuk artikel-artikel yang dimuat di majalah bulanan Muhammadiyah21.
Selain aktif di organisasi Muhammadiyah, beliau juga aktif di partai politik Masyumi, sehingga dimasukkan penjara dari tahun 1964 hingga1966 di masa Presiden Soekarno. Setelah keluar penjara beliau tidak aktif lagi dalam politik dan mulai dengan kegiatan-kegiatan di bidang dakwah dan menjadi imam besar Mesjid Agung Al Azhar Jakarta. Mulai tahun 1975 sampai 1980 Hamka menjabat ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Perspektif Buya Hamka Mengenai Pendidikan Islam
Seperti yang sudah dibahas diawal mengenai perspektif Buya Hamka tentang pendidikan menjadi salah satu pandangan yang membawa pengaruh positif terhadap perkembangan pendidikan Islam di Indonesia. Beliau mengatakan bahwa pendidikan merupakan bimbingan keagamaan orang tua terhadap anak dengan cara: membantu manusia memperoleh penghidupan yang layak. Tetapi lebih dari itu, dengan ilmu manusia akan mampu mengenal Tuhannya, memperhalus akhlaknya, dan senantiasa berupaya mencari keridhaan Allah.
Menurut Buya, tujuan dari pendidikan adalah untuk mengabdi dan beribadah kepada Allah. Oleh karena itu, dalam materi pendidikan harus mencakup tiga hal berikut yakni: ilmu, amal, akhlak dan keadilan.
Dalam pandangan Hamka, pendidikan dibagi menjadi dua yaitu pendidikan jasmani dan ruhani. Pendidikan jasmani yaitu pendidikan untuk pertumbuhan dan kesempurnaan jasmani serta kekuatan jiwa dan akal. Sedangkan pendidikan ruhani adalah pendidikan untuk kesempurnaan fitrah manusia dengan ilmu pengetahuan dan pengalamannya yang didasarkan kepada agama.
Dalam pandangan Islam, kedua unsur di atas sering disebut dengan fitrah. Apabila seorang manusia tidak berbuat kebajikan, menurut Buya beliau telah menyimpang dari fitrahnya.
Dengan perpaduan tiga unsur, yaitu akal, hati dan pancaindra yang terdapat pada jasad manusia, maka membantu manusia untuk memperoleh ilmu pengetahuan dan membangun peradaban, memahami fungsi kekhalifahannya, serta menangkap tanda-tanda kebesaran Allah.