Sayyidina Hasan, cucu Nabi Muhammad SAW pada bulan Ramadhan memiliki kebiasaan yang mulia. Setiap hari di bulan Ramadhan, ia membagikan makanan bagi orang-orang yang kurang mampu untuk berbuka puasa di kota Madinah.
Suatu hari, ketika cucu kesayangan Rasulullah itu sedang menghidangkan makanan untuk berbuka puasa. Ia melihat bapak-bapak tua berbeda dengan orang-orang lainnya yang sedang mengambil jatah makanan mereka masing-masing. Bapak tua itu tidak menyantap hidangan yang sudah diambilnya. Melainkan ia bawa makanan tersebut untuk dibawa pulang.
Melihat hal tersebut, putra Sulung Ali bin Abi Thalib bertanya kepada bapak tua tersebut. “Saudaraku, tidak seperti yang lain engkau tidak memakan makananmu. Apakah ada keluargamu yang sedang sakit? Bila iya, izinkan saya membantu atau minimal bolehkah saya menjenguknya? Semoga saya bisa melakukan sesuatu.”
Orang tua tersebut menatap Sayyidina Hasan dan kemudian dengan raut wajah yang sedih ia menjawab: “Maafkan saya cucu Rasulullah. Saya hidup sebatang kara dan saya tidak memiliki keluarga. Makanan ini ingin saya berikan kepada seorang laki-laki gagah yang selalu saya temui diperkebunan yang ada di dekat rumahku. Setiap hari saya melihatnya kerja di kebun itu, dan bila waktu berbuka tiba dia selalu memakan sepotong roti kering yang dibasahi air. Ia bekerja dan bekerja. Seperti lelah tak pernah menghampirinya.”
“Demikian pula tatkala duduk beristirahat, saya senantiasa mendengar lantunan ayat suci al-Quran dari mulutnya. Saya tidak pernah berbicara dengannya. Tapi saya kagum dan sangat hormat keadaannya. Hari ini saya berharap dapat menyenangkannya dengan makanan ini. Setidaknya memberikan menu yang berbeda untuknya, maafkan saya Tuan.”
Sayyidina Hasan pun terharu dan meteskan air mata setelah mendengar pekataan Bapak tua itu. Ia pun menjawab: “makanlah makananmu, dan bawalah makanan untuknya.”
“Tidak wahai Tuan, Anda telah demikian baik. Biarlah jatah makananku kuberikan kepadanya. Hatiku membisikkan demikian, ijinkanlah wahai Tuanku.” Kata orang tua itu dengan bersikukuh.
Cucu Rasulullah itu pun semakin terharu, air matanya makin menetas deras. “Bapak tua, tahukah engkau siapa laki-laki yang hendak kau berikan makanan itu? Dia adalah ayahku, Sayyidina Ali bin Abi Thalib, kekasih Allah dan kekasih Rasulullah SAW. Sesungguhnya makanan yang kita makan ini adalah hasil kerjanya. Dan dia lebih memilih berbuka dengan apa yang engkau sebutkan tadi.”
Masha Allah sahabat Alif, Ayah, dan Bunda di rumah. Hikmah yang dapat kita tauladani dari kisah keluarga Rasulullah SAW di atas adalah Sayyidina Hasan dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib lebih memilih makan seadanya daripada makan makanan mewah. Agar ia dapat memberi makan untuk orang lain, khususnya kepada orang yang kurang mampu.